Penyesalan terbesar Seorang Ibu adalah tidak bersabar menghadapi tingkah laku anak di usia golden age, dan hal itu juga saya alami. Penyesalan saya rasakan hingga ubun - ubun dan membuat saya meringis. Terkadang saya mengutuk diri dan berandai dapat meminjam mesin waktuDoraemon agar saya dapat memperbaiki kesalahan yang sudah saya lakukan.
Tentu saja tidak bisa ya Mom, jadi saya hanya bisa menjadikan kesalahan tersebut sebagai pelajaran dan pengalaman pahit agar esok hari saya tidak melakukan hal yang sama.
Saya yakin sebagian dariMom yang membaca tulisan ini juga pernah ngalamin hal yang sama. Marah pada anak untuk hal yang bahkan sepele, bentak anak sampai mencubit lantas menyesal sampai menangis dalam sujud dan janji gak ngulangin lagi. Tapi besoknya, eh gitu lagi.
What's wrong with me? iya kan? dan akhirnya sikapku itu jadi penyesalan terbesar seorang ibu. Ternyata, penyebab saya tidak bisa mengendalikan amarah dan emosi ketika berhadapan dengan tantrum anak adalah Inner child!
Bosen gak sih bahas ini? Sampai bahasan inner child ini jadi tema hype dan tren di kalangan ibu muda dan komunitas parenting. Inner child bahkan menjadi tema webinar dan konsultasi psikologis dimana-mana. Mereka yang bermasalah dengan inner child berbondong bondong ikutan webinar dan berusaha deal with it karena ternyata baru nyadar, oh gue punya issue inner child guys! gak bener nih, harus di beresin!
Saya termasuk emak yang berbondong-bondong itu. Tapi gak sampai ikut konsultasi sih. Alhamdulillah dengan menulis di blog dan menguraikan semua yang terkait inner child, secara perlahan saya pulih meski belum sepenuhnya.
Terkait inner child memang cukup krusial ternyata. Gimana mau “bener” mengasuh dan mendidik anak tapi kitanya masih bermasalah sama diri sendiri. Jangan-jangan kita marah ketika anak tantrum karena kita ngeliat diri kita sendiri saat masih kecil dan mirroring alias meniru pola asuh ortu kita yang kurang tepat. See? se krusial itu Mom! Dan ini saya alamin banget Mom.
Di artikel kali ini, Saya ingin share pengalaman pahit ketika saya gak bisa menahan emosi untuk tantrum anak yang sepele, gara-gara minta es krim doang! padahal anak lagi gak sakit dan sehat-sehat aja. Akhirnya saya tau kenapa saya bisa sebegitu emosi dan akhirnya hal ini menjadi penyesalan terbesar saya sebagai seorang Ibu.
Semoga cerita saya ini bisa menjadi pencerahan bagi Mom yang juga mengalami hal seperti saya ya. Peluk virtual Moms, You’re not alone.
Penyesalan Terbesar Seorang Ibu Selalu Ada Di Akhir
Pagi itu si bungsu merajuk minta jajan es krim, tentu saja saya tolak mengingat si bungsu sudah terlalu sering jajan es krim dan mulai ingusan. Si bungsu sangat sulit dirayu hingga saya emosi berat. Saya membanting pintu dengan keras dan berlalu meninggalkan si bungsu menangis sendirian sampai ngompol. Dengan kesal saya ambil lap dan membersihkan badannya.
" Ayo sini pakai baju" kataku,
" aku gak mau pake baju!!!"
" kalo gak pake baju nanti kamu kedinginan!"
"gak mauuu!!"
"TERSERAH!!"
Lalu dia duduk di atas bantal karpet sambil mengenakan handuk oranye kesayangannya. Sambil Berwajah sendu.
Hati saya semakin kesal dan kembali membanting pintu berlalu meninggalkan si bungsu menangis sendirian, cukup lama. hingga tak terdengar lagi suara tangisnya.
Sambil mencoba melepas kesal dan amarah, saya duduk di teras sambil memandang langit menghela nafas. Dari sini masih terdengar suara si bungsu menangis. Saya cukup lama duduk diteras sampai suara tangis si bungsu tak terdengar lagi. Lalu, saya memutuskan untuk kembali dan saya pun kaget.
Saya melihat dia tertidur di atas bantal karpet hanya berselimut handuk oranye kesayangannya. Hati saya mencelos, air mata tak bisa saya tahan dan sesak sesal memenuhi dada, "Maafkan aku nak....."
Betapa bodohnya saya sebagai seorang ibu, tak bisa menahan kesal dan amarah. Padahal apa sulitnya membiarkan dia membeli es krim lalu memberinya vitamin dan memberi makan yang banyak agar tidak terkena flu? Mengapa saya harus marah besar seperti kerasukan hanya karena dia mengompol? Mengompolpun karena saya marahu bukan? Dan apa salahnya saya sedikit menunggu dan menahan rasa kesal sambil tarik nafas dan kembali membujuk dia memakai baju?
Kesal karena apa saya hari ini?
Kembali saya membela diri bahwa betapa sulitnya menjadi seorang ibu, terlebih urusan mengontrol emosi dan mengendalikan amarah. Tapi ini bukan alasan pembenaran.
Si bungsu, memang sedang dalam masa bertingkah unik, konyol dan kadang bikin berang. Harusnya saya selalu ingat, ini adalah masa dia mengenal dunia sekitar dan lingkungannya. Dia belajar untuk memahami bukan hanya lingkungan, tetapi dirinya sendiri. Bagi anak seusia dia, pasti bukan hal yang mudah.
Ya Allah, maafkan hamba. kuatkan hamba untuk bisa lebih sabar menghadapi perkembangan anak - anak. Dan gak mengulang kejadian yang sama, aku gak mau lagi ngerasain penyesalan terbesar seorang ibu seperti ini lagi.
Agar Penyesalan Terbesar Seorang Ibu Gak kejadian lagi
Cerita di atas selalu saya ingat sampai sekarang. Bahkan saya share disini, di blog pribadi agar saya bisainget terus. Ingat bahwa, saya sebagai orang yang lebih dewasa dibanding di bungsu tentu harus lebih bisa mengendalikan emosi sendiri.
Akhirnya setelah hari yang penuh drama dengan Si Bungsu, sambil menangis dalam sujud seraya berjanji gak bakalan tidak akan begitu lagi, saya intropeksi diri dan saya mencoba cari akar permasalahannya.
Kenapa sih aku sampai tega ninggalin anak menangis hebat sampai ngompol dan ketiduran? MasyaAllah!
Padahal ini kan hal sepele, di omongin baik - baik juga anak pasti ngerti dan nurut. Kalau belum apa-apa saya-nya sudah naik pitam dan ngelarang pake nada oktaf, ya iyalah anak jadi ikutan emosi kan?
Setelah saya evaluasi diri, ternyata permasalahan yang menjadi alasan mengapa saya begitu mudah emosi adalah sebagai berikut :
- Inner child yang belum usai
- Bagaimana saya sebagai ibu gak bisa mengendalikan emosi
- Kehadiran saya di sekitar anak tidak ada secara ruhiyah.
- Pikiran saya bercabang, antara urusan domestik, kerjaan dan mengabulkan keinginan anak.
- Kemungkinan lain, saya emosi karena hal lain, jadi ketika anak "berulah" saya kesal luar biasa
Duhl, banyak banget ternyata sumber permasalahannya ya? wkwkwkwk. Kompleks emang jadi seorang ibu itu, salah langkah bisa jadi boomerang dan jadi penyesalan terbesar seorang Ibu.
Terkait Inner child, saya hands up ya Mom karena pembahasanya terlalu luas. Mungkin Mom bisa baca pengalaman saya terkait inner child disini. Tapi saya bisa share tentang gimana cara saya mengendalikan emosi dan amarah dikemudian hari biar penyesalan terbesar seorang Ibu yang saya gak terjadi lagi.
After the emotion wave, saya menulis artikel ini seraya berkomtemplasi dengan diri sendiri. Saya bicara dengan diri sendiri :
Coba bayangin deh, anak yang baru lahir ke dunia ini langsung menyusui tanpa belajar, merangkak, duduk lalu berdiri tanpa belajar terlebih dahulu. Kita aja jalan kaki naik gunung pulangnya pegel - pegel sampai pake koyo berlapis - lapis dan freshcare sampai habis. Apalagi anak yang baru belajar berjalan, udah pasti pegelnya minta ampun tuh. Jadi kadang, wajar anak sering tantrum. Karena bukan hanya motoriknya yang sedang berkembang, tapi juga psikologisnya.Si bungsu baru ada dalam tahap mengenal siapa ayahnya, ibunya, kakeknya, neneknya, kakaknya dan tukang bala-bala yang sering emak datengin sambil nyuapin anak di sore hari. Dunia begitu terasa luas dan membingungkan bagi anak usia golden age. Termasuk bagaimana cara si anak mengenal emosinya, perasaannya dan mengekspresikan keinginan.Wajar sih kalau anak pengen es krim bahkan disaat dia lagi flu. Kita aja baru sembuh dari maag, tetep aja kegoda makan indomie pake cengek, iya kan?
Kesimpulan
Pengalaman saya diatas menjadi pembelajaran terbesar saya sih yang insyallah gak akan terulang. Semoga ya, saya yang ektrovert ini juga kadang kelelahan tapi meski demikian tetep harus waras dan bijak mengendalikan emosi.
Menjadi orang tua yang sempurna memang gak bisa instan, yang bisa kita lakukan adalah yang terbaik menurut versi diri kita sendiri meski harus melakukan kesalahan berulang. Tapi saya percaya semua itu adalah proses dan bagian pendewasaan menjadi ibu. Walaupun, kesalahan yang dilakukan pastinya berdampak terhadap psikologis anak, tapi kalau sudah kejadian begitu meminta maaf pada anak adalah langkah selanjutnya.
Luka sudah terlanjur tertorehkan akibat emosi ibu yang meledak, menyesalpun tiada guna. Tidak melakukan kesalahan yang sama adalah bentuk remendetion atau pengampunan. Setidaknya itu yang bisa dilakukan untuk mengampuni diri sendiri.
Artikel ini dipilih untuk dimasukkan dalam kampanye "Blog Parenting Terbaik di Indonesia" dari penerbit bahan ajar pendidikan Twinkl.
Posting Komentar